BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di kebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum
dianggap lambang sekaligus tolak ukur dari demokrasi itu. Hasil pemilihan umum
yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan
kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi
serta aspirasi rakyat. Sekalipun demikian, didasari bahwa pemilihan umum tidak
merupakan satu-satunya tolak ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa
kegiatan lain yang lebih bersifat berkesinambungan.
Undang-Undang pemilu yang pertama kali dibuat di
Indonesia pascamerdeka, yakni UU No. 7 tahun 1953 tentang
pemilihan umum. Tujuan pemilu yang diselengagrakan pada tahun 1955, sebagaimana
tercantum dalam perundang-undangannya, adalah; 1) menjelmakan kemauan/keinginan
rakyat yang akan menjadi dasar kekuasaan penguasa; dan 2) membentuk
konstituante yang akan menetapkan suatu UUD RI.
Dalam 5 kali pemilu, yaitu pemilu 1977, 1982, 1987,
1992, 1997, pesertanya hanya tiga. Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi
pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar
bahkan sudah menjadi pemenang sejak pemilu 1971. Keadaan ini secara langsung
dan tidak langsuang membuat kesatuan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol
Golkar. Pendukung utama Golkar yaitu birokrasi sipil dan militer.
Pemilu 1977 diselenggarakan dengan berlandaskan pada
UU No. 4 tahun 1975 tentang Pemilihan Umum pengganti UU No. 15 tahun 1969, dan
UU No. 5 tahun 1975 pengganti UU No. 16 tahun 1969 tentang Susunan dan Kdudukan
MPR, DPR, dan DPRD.
Untuk mengetahui pemilu yang terjadi di negara kita
sendiri, yakni negara Indonesia, kami akan memberikan penjelasan sedikit
tentang sejarah dan pelaksanaan pemilu di Indonesia. Mulai dari awal
kemerdekaan hingga tahun 2009 ini.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah
pemilihan umum yang terjadi di Indonesia?
2.
Bagaimana pelaksanaan
pemilihan umum pada tahun 1997 di Indonesia?
3.
Bagaimana Suasana
Kehidupan Politik 1997 ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan dari makalah ini adalah :
1. Untuk
mengetahui dan memahami tentang sejarah pemilihan umum yang terjadi di
Indonesia .
2. Untuk mengetahui
pelaksanaan pemilihan umum pada tahun 1997.
3. Kita
juga dapat mengetahui suasana politik tahun 1997.
D. Hipotesa
Pemilu keenam pada pemerintahan Orde Baru ini
dilaksanakan pada tanggal 29 mei 1997. Sistem Pemilu yang digunakan pada tahun
1997 masi sama dengan sistem yang digunakan dalam Pemilu 1992, yaitu menganut
sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Pemilu di
Indonesia
Sejak kemerdekaan hingga tahun 2009 bangsa Indonesia
telah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum, yaitu pemilihan umum tahun
1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009. Dari pengalaman
sebanyak itu, pemilihan umum 1955 dan 2004 mempunyai kekhususan atau
keistimewaan dibanding dengan yang lain.
Semua pemilihan umum tersebut tidak diselenggarakan
dalam situasi yang vacuum, melainkan berlangsung di dalam
lingkungan yang turut menentukan hasil pemilihan umum itu sendiri. Dari
pemilihan umum-pemilihan umum tersebut juga dapat diketahui adanya upaya untuk
mencari sistem pemilihan umum yang cocok untuk Indonesia.
Pada pemilu 2004, penyelenggara pemilu di Indonesia,
dari pusat sampai Tempat Pemungutan Suara (TPS), tidak lagi diselenggarakan
oleh Panitian Pemilihan Indonesia (PPI) seperti pada pemilu 1955 dan Lembaga
Pemilihan Umum (LPU) seperti pada pemilu-pemilu pada masa orde baru, melainkan
oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ada perbedaan yang sangat mencolok antara
kedua model penyelenggara pemilu tersebut, khususnya antara LPU dan KPU, yakni
yang pertama LPU sangat didominasi oleh pemerintah, sementara KPU, kecuali KPU
pada pemilu 1999, sangat didomonasi oleh para tokoh non-partisan atau independen
dari kalangan kampus. Dan KPU pada pemili 1999 didomonasi oleh kombinais antara
kalangan partai politik dan pemerintah.
Pemilu 2004 ini berbeda dengan pemilu sebelumnya,
termasuk pemilu 1999. Hal itu dikarenakan selain demokratis dan bertujuan
memilih anggota DPR dan DPRD, pemilu 2004 juga memilih anggota Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) dan memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung
(sebelumnya Presiden dan Wakil Presiden dipilih oelh MPR). Selain itu, pada
pemilu ini, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidak dilakukan secara
terpisah (seperti pemilu 1999). Pada pemilu ini, yang dipilih adalah pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden, bukan secara terpisah.
Pemilu 2009 kali ini tidak berbeda dengan pemilu 2004
yang memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung dan tidak terpisah.
B. Pelaksanaan Pemilu di
Indonesia Pada Tahun 1997
Dengan payung hukum (undang-undang pemilu) yang sama
dengan pemilu sebelumnya, Indonesia kembali menyelenggarakan pemilu ketujuh,
yakni tahun 1997. pemungutan suaranya dilaksanakan pada tanggal 29 Mei 1997.
sampai pemilu 1997, cara pembagian kursi yang digunakan masih menggunakan cara
yang sama dengan pemilu sebelumnya.
Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi yang
digunakan tidak berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu 1971,
1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara diselenggarakan tanggal 29 Mei
1997. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada pemilu 1992 mengalami
kemerosotan, kali ini Golkar kembali merebut suara pendukungnya. Perolehan suaranya
mencapai 74,51 %, atau naik 6,41 %. Sedangkan perolehan kursinya meningkat
menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya.
PPP juga menikamati hal yang sama, yaitu meningkat
5,43 %. Begitu pula, untuk perolehan kursi. Pada pemilu 1997, PPP meraih 89
kursi atau meningkat 27 kursi dibandingkan dengan pemilu 1992. Dukungan
terhadap partai itu di Jawa sangat besar.
Adapun PDI, yang mengalami konflik internal dan
menjadi pecah antara PDI Soerjadi dan PDI Megawati Soekarnoputri setahun
menjelang pemilu, perolehan suaranya merosot 11,84 % dan hanya mendapat 11
kursi, yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR dibandingkan pemilu 1992.
No.
|
Partai
|
Suara
|
%
|
Kursi
|
% (1992)
|
Keterangan
|
1.
|
Golkar
|
84.187.907
|
74,51
|
325
|
68,10
|
+ 6,41
|
2.
|
PPP
|
25.340.028
|
22,43
|
89
|
17,00
|
+ 5,43
|
3.
|
PDI
|
3.463.225
|
3,06
|
11
|
14,90
|
- 11,84
|
Jumlah
|
112.991.150
|
100,00
|
425
|
100,00
|
|
Pemilu kali ini banyak diwarnai berbagai protes.
Protes terhadap kecurangan yang terjadi di banyak daerah. Bahkan, di Kabupaten
Sampang, Madura, puluhan kotak suara dibakar massa karena kecurangan
perhitungan suara dianggap keterlaluan. Ketika di beberapa tempat di daerah itu
pemilu diulang pun, pemilih, khususnya pendukung PPP, tidak mengambil bagian.
Secara keseluruhan, berdasarkan penjabaran di atas,
tampak bahwa pemenang dari setiap penyelenggaraan pemilu pada masa orde baru
adalah Golkar. Ini bisa dimengerti, karena Golkar pada masa saat itu, bersama
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan Birokrat, adalah mesin utama
bagi pemeliharaan sekaligus penguatan pemerintahan rezim orde baru, di bawah
kendali Soeharto. Kendaraan politik orde baru ini populer dikenal sebagai jalur
ABG (ABRI, Birokrasi, dan golkar).
Cara pembagian kursi pada pemilu kali ini tetap
memakai sistem proporsional dengan mengikuti Varian Roget. Dalam
sistem ini, sebuah partai memperoleh kursi seimbang dengan suara yang
diperolehnya di daerah pemilihan. Akan tetapi, cara penetapan calon terpilih
berbeda dengan pemilu sebelumnya, yakni dengan menentukan ranking perolehan
suara satu partai di daerah pemilihan. Apabila sejak pemilu 1977, calon nomor
urut pertama dalam daftar calon partai otomatis terpilih apabila partai
tersebut mendapatkan kursi, kini calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara
terbesar atau terbanyak dari daerah seseorang dicalonkan.
Dengan demikian, seorang calon, misalnya si X,
meskipun berada berada di urutan paling bawah dari daftar calon, kalau dari
daerahnya partai yang mewakilinya mendapatkan suara terbesar, maka dialah yang
terpilih. Untuk cara penetapan calon terpilih berdasarkan perolehan suara di
Daerah Tingkat II ini sama dengan cara yang dipergunakan pada pemilu 1971.
Meskipun masa persiapannya tergolong singkat,
pelaksanaan pemungutan suara pada pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal.
Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya,
ternyata pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang
berarti. Hanya di beberapa Daerah Tingkat II di Sumatra Utara yang pelaksanaan
pemungutan suaranya terpaksa diundur satu pekan. Itu pun karena adanya
keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara.
C. Suasana Kehidupan
Politik 1997, Sistem Pemerintahan, dan Demokrasi.
Pemilu Indonesia tahun 1997 diselenggarakan pada
tanggal 29 Mei 1997, dengan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 1997 sekitar
196.286.613 dengan pemilih terdaftar berjumlah 125.640.987. Seperti sudah
diramalkan oleh banyak orang di dalamnegeri maupun di luarnegeri, GOLKAR telah,
untuk kesekian kalinya, menang lagi dengan "gemilang" dalam PEMILU
1997 ini. Di seluruh propinsi, Golkar telah muncul sebagai pemenang unggul. Dan
menurut Suara Merdeka (30 Mei 1997), Presiden Suharto merasa puas atas kegiatan
pemungutan suara di seluruh Indonesia. "Presiden merasa gembira",
kata Mendagri Yogie SM setelah diterima oleh Kepala Negara di kediaman Jalan
Cendana, untuk melaporkan pelaksanaan pemungutan suara di Tanah Air. Yogie SM,
yang juga Ketua Lembaga Pemilihan Umum (LPU), datang di Jalan Cendana bersama
dengan Jaksa Agung/Ketua Panwaslakpus Singgih SH.
Apa artinya ini semua ? Ini akan berarti bahwa, sejak
sekarang, negeri kita akan memasuki periode yang penuh gejolak dan
ketegangan-ketegangan. Ketidakpuasan akan meledak dalam berbagai bentuk, dan
kemarahan banyak golongan dalam masyarakat akan meletus dengan cara yang
macam-macam. Peristiwa-peristiwa yang bisa mengarah kepada kerusuhan akan
terus-menerus terjadi di berbagai daerah, sampai menjelang sidang MPR, dan
bahkan sesudahnya. Itu semua akan timbul sebagai akibat dari persoalan-persoalan
yang terjadi dalam masa-masa sebelum, selama dan sesudah Pemilu 1997. Juga
sebagai akibat makin mengerasnya tindakan-tindakan represif fihak pemerintah
(ABRI) terhadap berbagai golongan dalam masyarakat. Sebab, kekerasan pemerintah
yang akan dilakukannya di kemudian hari juga akan makin membangkitkan
perlawanan.
Pemilu 1997 akan melahirkan perlawanan dari berbagai
golongan dalam masyarakat. Perlawanan itu tidak mesti berbentuk kekerasan atau
kerusuhan. Sebab, perkembangan situasi sesudah Pemilu 1997 akan menunjukkan
bahwa "bara api pembrontakan" terhadap sistem politik Orde Baru makin
berkobar dalam dada banyak orang di Indonesia. Pemberontakan moral akan muncul
dalam berbagai manifestasinya, menghadapi kekuasaan raksasa di bawah pimpinan
Presiden Suharto, yang telah menyelenggarakan Pemilu ini dengan cara-cara
curang dan manipulasi yang kotor. Pemberontakan semacam itu akan dibenarkan
oleh sejarah, dan disahkan oleh hati-nurani banyak orang yang mendambakan perubahan
demokratik yang berdasarkan kejujuran dan keadilan.
Dalam Pemilu 1997 ini Golkar telah menang dalam angka
(yang tetap perlu diragukan kebenarannya), tetapi kemenangan ini tidak
menjadikannya lebih terhormat dari pada yang sudah-sudah. Bahkan kebalikannya,
kemenangan ini makin menunjukkan kepada masyarakat luas di Indonesia, dan juga
di luar negeri, ciri dan watak yang sebenarnya kekuasaan Orde Baru di bawah
pimpinan Presiden Suharto. Dengan Pemilu 1997, seperti halnya Pemilu-Pemilu
yang sudah berkali-kali diadakan pada masa-masa yang lalu, pemerintahan Orde
Baru telah menghina rakyat Indonesia, serta memandang rendah opini rakyat
Indonesia dan juga opini dunia.
Seperti kita akan kita saksikan tidak lama lagi, maka
banyak bukti dan banyak saksi akan menunjukkan kepada opini di dalam negeri dan
juga di luar negeri bahwa kemenangan Golkar ini adalah produk dari rekayasa
besar-besaran dari kekuasaan Orde Baru untuk mempertahankan status quota dan
menentang adanya pembaruan atau perombakan tatanan politik yang selama 30 tahun
telah menimbulkan kerusakan-kerusakan di berbagai bidang. Dengan arogansi yang
menyolok secara keterlaluan mereka berusaha membendung arus besar reformasi
yang dipelopori oleh generasi muda dari berbagai golongan dan aliran. Gejala
inilah yang merupakan aspek yang positif dan menggembirakan, yang bisa dilihat
selama dua tahun terakhir ini, dan terutama selama masa kampanye Pemilu 1997.
Pemilu 1997 ini telah dipersiapkan oleh pemerintahan
Orde Baru dengan berbagai langkah buruk, rekayasa kotor, peraturan-peraturan
yang tidak demokratis, dan rencana-rencana yang patut diharamkan oleh nalar
yang sehat. Pemilu 1997 bukanlah sesuatu yang luhur, jujur dan adil, dan
karenanya tidak sah dan haram. Oleh karena itu, apa yang dihasilkannya adalah
tidak sah pula, dan patut dinajiskan oleh hati nurani rakyat banyak. Artinya,
kalau kita terima hasil Pemilu yang berdasarkan kebathilan ini, maka berarti
kita ikut melakukan kesalahan besar dalam mempertahankan sesuatu yang telah
menimbulkan kerusakan-kerusakan besar bagi bangsa dan rakyat Indonesia.
Pemilu 1997 telah berlalu. Sejak sekarang inilah mulai
perjuangan baru, bagi kita semua, untuk menunjukkan, dengan berbagai cara,
bahwa Pemilu 1997 adalah tidak sah secara moral dan secara politik. Sebab,
hasil Pemilu 1997 yang najis ini juga akan melahirkan DPR dan MPR yang patut
diharamkan oleh rakyat (harap dicatat bahwa itu tidak berarti bahwa kita tidak
menghormati sejumlah wakil-wakil rakyat yang jujur dan bersih yang terdapat di
kalangan PPP atau Golkar). Dan berdasarkan pengalaman selama 30 tahun ini, kita
sudah menyaksikan bahwa DPR dan MPR, yang didominasi dan dimanipulasi oleh
pendukung-pendukung Suharto-Orde Baru-Golkar, bukanlah merupakan lembaga yang
mewaikili rakyat. Wakil-wakil PPP dalam DPR, walaupun mereka berusaha berjuang
dengan bersih, tidak akan bisa berbuat banyak, menghadapi dominasi Golkar-Abri.
Dan, PDI-nya Suryadi, yang sudah dikerdilkan oleh rakyat, hanya akan menjadi
tontonan yang memelas dan menjijikkan dalam sidang-sidang DPR yang, nota bene,
gadungan juga.
Praktek-praktek pemerintahan Orde Baru sebelum dan
setelah Pemilu 1997 ini akan menunjukkan bukti-bukti tambahan kepada rakyat
Indonesia, dan kepada opini dunia, bahwa pemerintahan Indonesia haruslah
diganti, dan Presiden Suharto harus meletakkan jabatan. Tanpa digantinya Presiden
Suharto dengan tokoh yang lain, situasi yang buruk dalam bidang politik,
ekonomi, sosial, kebudayaan, kehidupan moral yang sudah mengidap penyakit parah
ini akan berlangsung terus. Korupsi, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan dalam
skala besar dan kecil akan terus melakukan kerusakan-kerusakan besar yang
memprihatinkan di berbagai kalangan masyarakat Indonesia. Presiden Suharto
tidak boleh dibiarkan terus melakukan praktek-praktek yang tidak terpuji, demi
kepentingan kelanggengan Republik Indonesia, dan demi kepentingan generasi yang
akan datang. Tetapi, apakah mudah untuk menghilangkan kangker yang satu ini ?
Apakah perubahan situasi di Indonesia harus menunggu dulu, sampai "orang
kuat" ini meninggalkan kita semua, dan masuk surga di sana ?
Kemenangan Golkar dalam Pemilu 1997 adalah penghinaan
sistem politik Orde Baru terhadap rakyat Indonesia. Tidak patutlah kiranya bagi
Presiden Suharto beserta pejabat-pejabat tinggi ABRI dan pembesar-pembesar
sipil Golkar untuk bergembira-ria dan merasa bangga dengan hasil-hasil Pemilu
1997. Sebab, kemenangan ini akan membikin lebih buruknya citra Indonesia dalam
pergaulan bangsa-bangsa yang beradab di dunia ini. (Dapatlah dibayangkan betapa
sulitnya para diplomat Indonesia yang bertugas di luarnegeri untuk menyembunyikan
wajah yang bonyok dan bopeng-bopeng pemerintahan Orde Baru). Sebab,
selanjutnya, seperti halnya yang sudah-sudah, mass-media luarnegeri akan
terus-menerus menyoroti "keanehan-keanehan" yang sudah dilakukan oleh
pemerintahan di bawah pimpinan Presiden Suharto ini. Dan karena perlawanan
terhadap sistem politik Orde Baru ini akan makin meluas dan makin berani, maka
penindasan terhadap mereka yang menginginkan perobahan juga akan lebih kejam,
lebih brutal, lebih banyak. Seiring dengan berkembangnya situasi yang demikian,
maka mass-media luarnegeri juga akan lebih getol menyajikan cerita-cerita yang
menarik tentang kelakuan pembesar-pembesar Indonesia.
Kemenangan Golkar dalam Pemilu juga berarti matinya
demokrasi di Indonesia, yang selama 30 tahun sudah mengidap penyakit parah,
akibat kangker dan benalu yang mencengkam pimpinan pemerintahan. Hal ini dengan
gamblang telah dilihat oleh banyaknya pemuda dan mahasiswa yang telah membawa
peti-mati dalam berbagai unjuk rasa. Mareka juga melihat bahwa Pemilu 1997 hanyalah
suatu rekayasa besar-besaran yang mahal harganya, yang bertujuan untuk
mempertahankan statusquo yang berbau busuk. Di banyak universitas telah muncul
aksi-aksi yang makin berani. Pemuda dan mahasiswa dari berbagai golongan dan
faham politik, yang tersebar diberbagai daerah, sudah melancarkan aksi-aksi
boikot, golput dan goltus, untuk menunjukkan penolakan mereka terhadap Pemilu
yang tidak luber-jurdil itu. Mereka melancarkan perlawanan terhadap sistem
politik dan pemerintahan Presiden Suharto yang membikin masa depan bangsa
Indonesia menjadi kelam. Generasi muda Indonesia ini ingin menyelamatkan hari
depan generasi yang akan datang dari kerusakan-kerusakan yang telah dilakukan
Orde Baru.
Sebab, jelaslah bagi banyak orang, yang jumlahnya
makin membesar akhir-akhir ini, bahwa dengan hasil Pemilu 1997 ini, segala yang
buruk yang sudah berlangsung selama 30 tahun ini akan dipertahankan oleh
Presiden Suharto beserta pendukung-pendukungnya yang paling setia.
Keburukan-keburukan dan kebusukan-kebusukan inilah "kekuatan" dan
"tonggak penyangga" Orde Baru yang dipimpin olehnya dan oleh sistem
politik Golkar. Pengalaman yang sudah dijalani sehari-hari oleh banyak orang di
Indonesia sudah membuktikan bahwa Orde Baru dan Golkar adalah identik dengan
kemerosotan moral, dekadensi mentalitas, penyalahgunaan kekuasaan, kolusi dalam
banyak bentuk dan banyak cara, korupsi yang menjalar dari tingkat atas
pemerintahan sampai ke tingkat pedesaan. Orde Baru dan Golkar adalah pencipta
"jaman edan" di mana banyak orang sudah kehilangan keluhuran budi,
yang, tanpa rasa sungkan sudah, dan akan terus, melakukan keselingkuhan dan
kenistaan dalam berbagai skala.
Dalam kampanye Pemilu 1997, pembesar-pembesar Orde
Baru (Golkar) telah menjanjikan akan diberantasnya korupsi dan kolusi. Mereka
juga mengobral iming-iming palsu kepada masyarakat luas bahwa dengan kemenangan
yang diperoleh Golkar, maka demokrasi akan dijalankan untuk menghayati aspirasi
rakyat. Ini adalah sesuatu yang tidak mungkin ! Sebab, hakekat watak (dan
praktek-praktek) Orde Baru adalah justru bertentangan dengan prinsip-prinsip
demokrasi yang lazim diterima oleh nalar yang lumrah. Pemberantasan korupsi dan
pembabadan kolusi adalah tidak mungkin dijalankan oleh Orde Baru. Sebab,
praktek selama 30 tahun ini juga sudah menjadi saksi bahwa eksistensi Golkar
adalah justru satu dengan adanya kolusi, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan,
persekongkolan dan praktek-praktek selingkuh dan tidak transparan. Sudah 30
tahun demokrasi sudah dibius oleh Orde Baru, dan sesudah Pemilu 1997, tidak
mungkin ada pembaruan dalam sikap mereka. Sebab, demokrasi yang sungguh-sungguh
dilaksanakan, akan mengadili dosa-dosa yang telah mereka tumpuk selama 30 tahun
ini.
Pemilu 1997 telah diselenggarakan secara tidak sah.
Karenanya, hasilnyapun tidak sah secara moral. Sudah sewajarlah kalau banyak
orang berpendapat bahwa Pemilu 1997 ini harus dianggap batal dan bathil.
Mengakui keabsahan sesuatu yang haram semacam itu adalah dosa besar bagi sesama
kita dewasa ini, dan juga merupakan keaiban, yang harus dipertanggungjawabkan
di hari kemudian.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam pemilu-pemilu yang terjadi di Indonesia tidak
selamanya selalu sama, sejak pemilu pertama dilaksanakan, yaitu pada tahun 1955
hingga saat ini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi. Mulai dari perubahan
landasan pada tiap pelaksanaan pemilu sampai pada jumlah partai politik yang
mengikuti pemilu tersebut, yang telah dipaparkan di atas.
B. Kritik dan Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang
menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak
berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan saran yang
membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di
kesempatan-kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya
juga para pembaca yang buduman pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu
Politik (edisi revisi). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Gatara, Sahid. 2008. Ilmu Politik (Memahami
dan Menerapkan). Bandung: Pustaka Setia.
Syafii, Inu Kencana. 1997. Ilmu Politik.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id