Kamis, 06 Juni 2013

Pelaksanaan Pemilu di Indonesia 1997


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Di kebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang sekaligus tolak ukur dari demokrasi itu. Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi serta aspirasi rakyat. Sekalipun demikian, didasari bahwa pemilihan umum tidak merupakan satu-satunya tolak ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan lain yang lebih bersifat berkesinambungan.
Undang-Undang pemilu yang pertama kali dibuat di Indonesia pascamerdeka, yakni UU No. 7 tahun 1953 tentang pemilihan umum. Tujuan pemilu yang diselengagrakan pada tahun 1955, sebagaimana tercantum dalam perundang-undangannya, adalah; 1) menjelmakan kemauan/keinginan rakyat yang akan menjadi dasar kekuasaan penguasa; dan 2) membentuk konstituante yang akan menetapkan suatu UUD RI.
Dalam 5 kali pemilu, yaitu pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, pesertanya hanya tiga. Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI menjadi pelengkap atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah menjadi pemenang sejak pemilu 1971. Keadaan ini secara langsung dan tidak langsuang membuat kesatuan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar. Pendukung utama Golkar yaitu birokrasi sipil dan militer.
Pemilu 1977 diselenggarakan dengan berlandaskan pada UU No. 4 tahun 1975 tentang Pemilihan Umum pengganti UU No. 15 tahun 1969, dan UU No. 5 tahun 1975 pengganti UU No. 16 tahun 1969 tentang Susunan dan Kdudukan MPR, DPR, dan DPRD.
Untuk mengetahui pemilu yang terjadi di negara kita sendiri, yakni negara Indonesia, kami akan memberikan penjelasan sedikit tentang sejarah dan pelaksanaan pemilu di Indonesia. Mulai dari awal kemerdekaan hingga tahun 2009 ini.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah pemilihan umum yang terjadi di Indonesia?
2.      Bagaimana pelaksanaan pemilihan umum pada tahun 1997 di Indonesia?
3.      Bagaimana Suasana Kehidupan Politik 1997 ?

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui dan memahami tentang sejarah pemilihan umum yang terjadi di Indonesia .
2.      Untuk mengetahui pelaksanaan pemilihan umum pada tahun 1997.
3.      Kita juga dapat mengetahui suasana politik tahun 1997.

D.    Hipotesa
Pemilu keenam pada pemerintahan Orde Baru ini dilaksanakan pada tanggal 29 mei 1997. Sistem Pemilu yang digunakan pada tahun 1997 masi sama dengan sistem yang digunakan dalam Pemilu 1992, yaitu menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Pemilu di Indonesia
Sejak kemerdekaan hingga tahun 2009 bangsa Indonesia telah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum, yaitu pemilihan umum tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009. Dari pengalaman sebanyak itu, pemilihan umum 1955 dan 2004 mempunyai kekhususan atau keistimewaan dibanding dengan yang lain.
Semua pemilihan umum tersebut tidak diselenggarakan dalam situasi yang vacuum, melainkan berlangsung di dalam lingkungan yang turut menentukan hasil pemilihan umum itu sendiri. Dari pemilihan umum-pemilihan umum tersebut juga dapat diketahui adanya upaya untuk mencari sistem pemilihan umum yang cocok untuk Indonesia.
Pada pemilu 2004, penyelenggara pemilu di Indonesia, dari pusat sampai Tempat Pemungutan Suara (TPS), tidak lagi diselenggarakan oleh Panitian Pemilihan Indonesia (PPI) seperti pada pemilu 1955 dan Lembaga Pemilihan Umum (LPU) seperti pada pemilu-pemilu pada masa orde baru, melainkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ada perbedaan yang sangat mencolok antara kedua model penyelenggara pemilu tersebut, khususnya antara LPU dan KPU, yakni yang pertama LPU sangat didominasi oleh pemerintah, sementara KPU, kecuali KPU pada pemilu 1999, sangat didomonasi oleh para tokoh non-partisan atau independen dari kalangan kampus. Dan KPU pada pemili 1999 didomonasi oleh kombinais antara kalangan partai politik dan pemerintah.
Pemilu 2004 ini berbeda dengan pemilu sebelumnya, termasuk pemilu 1999. Hal itu dikarenakan selain demokratis dan bertujuan memilih anggota DPR dan DPRD, pemilu 2004 juga memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung (sebelumnya Presiden dan Wakil Presiden dipilih oelh MPR). Selain itu, pada pemilu ini, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidak dilakukan secara terpisah (seperti pemilu 1999). Pada pemilu ini, yang dipilih adalah pasangan calon  Presiden dan Wakil Presiden, bukan secara terpisah.
Pemilu 2009 kali ini tidak berbeda dengan pemilu 2004 yang memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung dan tidak terpisah.
B.     Pelaksanaan Pemilu di Indonesia Pada Tahun 1997
Dengan payung hukum (undang-undang pemilu) yang sama dengan pemilu sebelumnya, Indonesia kembali menyelenggarakan pemilu ketujuh, yakni tahun 1997. pemungutan suaranya dilaksanakan pada tanggal 29 Mei 1997. sampai pemilu 1997, cara pembagian kursi yang digunakan masih menggunakan cara yang sama dengan pemilu sebelumnya.
Sampai Pemilu 1997 ini cara pembagian kursi yang digunakan tidak berubah, masih menggunakan cara yang sama dengan Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, dan 1992. Pemungutan suara diselenggarakan tanggal 29 Mei 1997. Hasilnya menunjukkan bahwa setelah pada pemilu 1992 mengalami kemerosotan, kali ini Golkar kembali merebut suara pendukungnya. Perolehan suaranya mencapai 74,51 %, atau naik 6,41 %. Sedangkan perolehan kursinya meningkat menjadi 325 kursi, atau bertambah 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya.
PPP juga menikamati hal yang sama, yaitu meningkat 5,43 %. Begitu pula, untuk perolehan kursi. Pada pemilu 1997, PPP meraih 89 kursi atau meningkat 27 kursi dibandingkan dengan pemilu 1992. Dukungan terhadap partai itu di Jawa sangat besar.
Adapun PDI, yang mengalami konflik internal dan menjadi pecah antara PDI Soerjadi dan PDI Megawati Soekarnoputri setahun menjelang pemilu, perolehan suaranya merosot 11,84 % dan hanya mendapat 11 kursi, yang berarti kehilangan 45 kursi di DPR dibandingkan pemilu 1992.
No.
Partai
Suara
%
Kursi
% (1992)
Keterangan
1.
Golkar
84.187.907
74,51
325
68,10
+ 6,41
2.
PPP
25.340.028
22,43
89
17,00
+ 5,43
3.
PDI
3.463.225
3,06
11
14,90
- 11,84
Jumlah
112.991.150
100,00
425
100,00


Pemilu kali ini banyak diwarnai berbagai protes. Protes terhadap kecurangan yang terjadi di banyak daerah. Bahkan, di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak suara dibakar massa karena kecurangan perhitungan suara dianggap keterlaluan. Ketika di beberapa tempat di daerah itu pemilu diulang pun, pemilih, khususnya pendukung PPP, tidak mengambil bagian.
Secara keseluruhan, berdasarkan penjabaran di atas, tampak bahwa pemenang dari setiap penyelenggaraan pemilu pada masa orde baru adalah Golkar. Ini bisa dimengerti, karena Golkar pada masa saat itu, bersama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan Birokrat, adalah mesin utama bagi pemeliharaan sekaligus penguatan pemerintahan rezim orde baru, di bawah kendali Soeharto. Kendaraan politik orde baru ini populer dikenal sebagai jalur ABG (ABRI, Birokrasi, dan golkar).
Cara pembagian kursi pada pemilu kali ini tetap memakai sistem proporsional dengan mengikuti Varian Roget. Dalam sistem ini, sebuah partai memperoleh kursi seimbang dengan suara yang diperolehnya di daerah pemilihan. Akan tetapi, cara penetapan calon terpilih berbeda dengan pemilu sebelumnya, yakni dengan menentukan ranking perolehan suara satu partai di daerah pemilihan. Apabila sejak pemilu 1977, calon nomor urut pertama dalam daftar calon partai otomatis terpilih apabila partai tersebut mendapatkan kursi, kini calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbesar atau terbanyak dari daerah seseorang dicalonkan.
Dengan demikian, seorang calon, misalnya si X, meskipun berada berada di urutan paling bawah dari daftar calon, kalau dari daerahnya partai yang mewakilinya mendapatkan suara terbesar, maka dialah yang terpilih. Untuk cara penetapan calon terpilih berdasarkan perolehan suara di Daerah Tingkat II ini sama dengan cara yang dipergunakan pada pemilu 1971.
Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa Daerah Tingkat II di Sumatra Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur satu pekan. Itu pun karena adanya keterlambatan atas datangnya perlengkapan pemungutan suara.
C.    Suasana Kehidupan Politik 1997, Sistem Pemerintahan, dan Demokrasi.
Pemilu Indonesia tahun 1997 diselenggarakan pada tanggal 29 Mei 1997, dengan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 1997 sekitar 196.286.613 dengan pemilih terdaftar berjumlah 125.640.987. Seperti sudah diramalkan oleh banyak orang di dalamnegeri maupun di luarnegeri, GOLKAR telah, untuk kesekian kalinya, menang lagi dengan "gemilang" dalam PEMILU 1997 ini. Di seluruh propinsi, Golkar telah muncul sebagai pemenang unggul. Dan menurut Suara Merdeka (30 Mei 1997), Presiden Suharto merasa puas atas kegiatan pemungutan suara di seluruh Indonesia. "Presiden merasa gembira", kata Mendagri Yogie SM setelah diterima oleh Kepala Negara di kediaman Jalan Cendana, untuk melaporkan pelaksanaan pemungutan suara di Tanah Air. Yogie SM, yang juga Ketua Lembaga Pemilihan Umum (LPU), datang di Jalan Cendana bersama dengan Jaksa Agung/Ketua Panwaslakpus Singgih SH. 
Apa artinya ini semua ? Ini akan berarti bahwa, sejak sekarang, negeri kita akan memasuki periode yang penuh gejolak dan ketegangan-ketegangan. Ketidakpuasan akan meledak dalam berbagai bentuk, dan kemarahan banyak golongan dalam masyarakat akan meletus dengan cara yang macam-macam. Peristiwa-peristiwa yang bisa mengarah kepada kerusuhan akan terus-menerus terjadi di berbagai daerah, sampai menjelang sidang MPR, dan bahkan sesudahnya. Itu semua akan timbul sebagai akibat dari persoalan-persoalan yang terjadi dalam masa-masa sebelum, selama dan sesudah Pemilu 1997. Juga sebagai akibat makin mengerasnya tindakan-tindakan represif fihak pemerintah (ABRI) terhadap berbagai golongan dalam masyarakat. Sebab, kekerasan pemerintah yang akan dilakukannya di kemudian hari juga akan makin membangkitkan perlawanan.
Pemilu 1997 akan melahirkan perlawanan dari berbagai golongan dalam masyarakat. Perlawanan itu tidak mesti berbentuk kekerasan atau kerusuhan. Sebab, perkembangan situasi sesudah Pemilu 1997 akan menunjukkan bahwa "bara api pembrontakan" terhadap sistem politik Orde Baru makin berkobar dalam dada banyak orang di Indonesia. Pemberontakan moral akan muncul dalam berbagai manifestasinya, menghadapi kekuasaan raksasa di bawah pimpinan Presiden Suharto, yang telah menyelenggarakan Pemilu ini dengan cara-cara curang dan manipulasi yang kotor. Pemberontakan semacam itu akan dibenarkan oleh sejarah, dan disahkan oleh hati-nurani banyak orang yang mendambakan perubahan demokratik yang berdasarkan kejujuran dan keadilan.
Dalam Pemilu 1997 ini Golkar telah menang dalam angka (yang tetap perlu diragukan kebenarannya), tetapi kemenangan ini tidak menjadikannya lebih terhormat dari pada yang sudah-sudah. Bahkan kebalikannya, kemenangan ini makin menunjukkan kepada masyarakat luas di Indonesia, dan juga di luar negeri, ciri dan watak yang sebenarnya kekuasaan Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Suharto. Dengan Pemilu 1997, seperti halnya Pemilu-Pemilu yang sudah berkali-kali diadakan pada masa-masa yang lalu, pemerintahan Orde Baru telah menghina rakyat Indonesia, serta memandang rendah opini rakyat Indonesia dan juga opini dunia.
Seperti kita akan kita saksikan tidak lama lagi, maka banyak bukti dan banyak saksi akan menunjukkan kepada opini di dalam negeri dan juga di luar negeri bahwa kemenangan Golkar ini adalah produk dari rekayasa besar-besaran dari kekuasaan Orde Baru untuk mempertahankan status quota dan menentang adanya pembaruan atau perombakan tatanan politik yang selama 30 tahun telah menimbulkan kerusakan-kerusakan di berbagai bidang. Dengan arogansi yang menyolok secara keterlaluan mereka berusaha membendung arus besar reformasi yang dipelopori oleh generasi muda dari berbagai golongan dan aliran. Gejala inilah yang merupakan aspek yang positif dan menggembirakan, yang bisa dilihat selama dua tahun terakhir ini, dan terutama selama masa kampanye Pemilu 1997.
Pemilu 1997 ini telah dipersiapkan oleh pemerintahan Orde Baru dengan berbagai langkah buruk, rekayasa kotor, peraturan-peraturan yang tidak demokratis, dan rencana-rencana yang patut diharamkan oleh nalar yang sehat. Pemilu 1997 bukanlah sesuatu yang luhur, jujur dan adil, dan karenanya tidak sah dan haram. Oleh karena itu, apa yang dihasilkannya adalah tidak sah pula, dan patut dinajiskan oleh hati nurani rakyat banyak. Artinya, kalau kita terima hasil Pemilu yang berdasarkan kebathilan ini, maka berarti kita ikut melakukan kesalahan besar dalam mempertahankan sesuatu yang telah menimbulkan kerusakan-kerusakan besar bagi bangsa dan rakyat Indonesia.
Pemilu 1997 telah berlalu. Sejak sekarang inilah mulai perjuangan baru, bagi kita semua, untuk menunjukkan, dengan berbagai cara, bahwa Pemilu 1997 adalah tidak sah secara moral dan secara politik. Sebab, hasil Pemilu 1997 yang najis ini juga akan melahirkan DPR dan MPR yang patut diharamkan oleh rakyat (harap dicatat bahwa itu tidak berarti bahwa kita tidak menghormati sejumlah wakil-wakil rakyat yang jujur dan bersih yang terdapat di kalangan PPP atau Golkar). Dan berdasarkan pengalaman selama 30 tahun ini, kita sudah menyaksikan bahwa DPR dan MPR, yang didominasi dan dimanipulasi oleh pendukung-pendukung Suharto-Orde Baru-Golkar, bukanlah merupakan lembaga yang mewaikili rakyat. Wakil-wakil PPP dalam DPR, walaupun mereka berusaha berjuang dengan bersih, tidak akan bisa berbuat banyak, menghadapi dominasi Golkar-Abri. Dan, PDI-nya Suryadi, yang sudah dikerdilkan oleh rakyat, hanya akan menjadi tontonan yang memelas dan menjijikkan dalam sidang-sidang DPR yang, nota bene, gadungan juga.
Praktek-praktek pemerintahan Orde Baru sebelum dan setelah Pemilu 1997 ini akan menunjukkan bukti-bukti tambahan kepada rakyat Indonesia, dan kepada opini dunia, bahwa pemerintahan Indonesia haruslah diganti, dan Presiden Suharto harus meletakkan jabatan. Tanpa digantinya Presiden Suharto dengan tokoh yang lain, situasi yang buruk dalam bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, kehidupan moral yang sudah mengidap penyakit parah ini akan berlangsung terus. Korupsi, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan dalam skala besar dan kecil akan terus melakukan kerusakan-kerusakan besar yang memprihatinkan di berbagai kalangan masyarakat Indonesia. Presiden Suharto tidak boleh dibiarkan terus melakukan praktek-praktek yang tidak terpuji, demi kepentingan kelanggengan Republik Indonesia, dan demi kepentingan generasi yang akan datang. Tetapi, apakah mudah untuk menghilangkan kangker yang satu ini ? Apakah perubahan situasi di Indonesia harus menunggu dulu, sampai "orang kuat" ini meninggalkan kita semua, dan masuk surga di sana ?

Kemenangan Golkar dalam Pemilu 1997 adalah penghinaan sistem politik Orde Baru terhadap rakyat Indonesia. Tidak patutlah kiranya bagi Presiden Suharto beserta pejabat-pejabat tinggi ABRI dan pembesar-pembesar sipil Golkar untuk bergembira-ria dan merasa bangga dengan hasil-hasil Pemilu 1997. Sebab, kemenangan ini akan membikin lebih buruknya citra Indonesia dalam pergaulan bangsa-bangsa yang beradab di dunia ini. (Dapatlah dibayangkan betapa sulitnya para diplomat Indonesia yang bertugas di luarnegeri untuk menyembunyikan wajah yang bonyok dan bopeng-bopeng pemerintahan Orde Baru). Sebab, selanjutnya, seperti halnya yang sudah-sudah, mass-media luarnegeri akan terus-menerus menyoroti "keanehan-keanehan" yang sudah dilakukan oleh pemerintahan di bawah pimpinan Presiden Suharto ini. Dan karena perlawanan terhadap sistem politik Orde Baru ini akan makin meluas dan makin berani, maka penindasan terhadap mereka yang menginginkan perobahan juga akan lebih kejam, lebih brutal, lebih banyak. Seiring dengan berkembangnya situasi yang demikian, maka mass-media luarnegeri juga akan lebih getol menyajikan cerita-cerita yang menarik tentang kelakuan pembesar-pembesar Indonesia.
Kemenangan Golkar dalam Pemilu juga berarti matinya demokrasi di Indonesia, yang selama 30 tahun sudah mengidap penyakit parah, akibat kangker dan benalu yang mencengkam pimpinan pemerintahan. Hal ini dengan gamblang telah dilihat oleh banyaknya pemuda dan mahasiswa yang telah membawa peti-mati dalam berbagai unjuk rasa. Mareka juga melihat bahwa Pemilu 1997 hanyalah suatu rekayasa besar-besaran yang mahal harganya, yang bertujuan untuk mempertahankan statusquo yang berbau busuk. Di banyak universitas telah muncul aksi-aksi yang makin berani. Pemuda dan mahasiswa dari berbagai golongan dan faham politik, yang tersebar diberbagai daerah, sudah melancarkan aksi-aksi boikot, golput dan goltus, untuk menunjukkan penolakan mereka terhadap Pemilu yang tidak luber-jurdil itu. Mereka melancarkan perlawanan terhadap sistem politik dan pemerintahan Presiden Suharto yang membikin masa depan bangsa Indonesia menjadi kelam. Generasi muda Indonesia ini ingin menyelamatkan hari depan generasi yang akan datang dari kerusakan-kerusakan yang telah dilakukan Orde Baru.
Sebab, jelaslah bagi banyak orang, yang jumlahnya makin membesar akhir-akhir ini, bahwa dengan hasil Pemilu 1997 ini, segala yang buruk yang sudah berlangsung selama 30 tahun ini akan dipertahankan oleh Presiden Suharto beserta pendukung-pendukungnya yang paling setia. Keburukan-keburukan dan kebusukan-kebusukan inilah "kekuatan" dan "tonggak penyangga" Orde Baru yang dipimpin olehnya dan oleh sistem politik Golkar. Pengalaman yang sudah dijalani sehari-hari oleh banyak orang di Indonesia sudah membuktikan bahwa Orde Baru dan Golkar adalah identik dengan kemerosotan moral, dekadensi mentalitas, penyalahgunaan kekuasaan, kolusi dalam banyak bentuk dan banyak cara, korupsi yang menjalar dari tingkat atas pemerintahan sampai ke tingkat pedesaan. Orde Baru dan Golkar adalah pencipta "jaman edan" di mana banyak orang sudah kehilangan keluhuran budi, yang, tanpa rasa sungkan sudah, dan akan terus, melakukan keselingkuhan dan kenistaan dalam berbagai skala. 
Dalam kampanye Pemilu 1997, pembesar-pembesar Orde Baru (Golkar) telah menjanjikan akan diberantasnya korupsi dan kolusi. Mereka juga mengobral iming-iming palsu kepada masyarakat luas bahwa dengan kemenangan yang diperoleh Golkar, maka demokrasi akan dijalankan untuk menghayati aspirasi rakyat. Ini adalah sesuatu yang tidak mungkin ! Sebab, hakekat watak (dan praktek-praktek) Orde Baru adalah justru bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang lazim diterima oleh nalar yang lumrah. Pemberantasan korupsi dan pembabadan kolusi adalah tidak mungkin dijalankan oleh Orde Baru. Sebab, praktek selama 30 tahun ini juga sudah menjadi saksi bahwa eksistensi Golkar adalah justru satu dengan adanya kolusi, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, persekongkolan dan praktek-praktek selingkuh dan tidak transparan. Sudah 30 tahun demokrasi sudah dibius oleh Orde Baru, dan sesudah Pemilu 1997, tidak mungkin ada pembaruan dalam sikap mereka. Sebab, demokrasi yang sungguh-sungguh dilaksanakan, akan mengadili dosa-dosa yang telah mereka tumpuk selama 30 tahun ini.
Pemilu 1997 telah diselenggarakan secara tidak sah. Karenanya, hasilnyapun tidak sah secara moral. Sudah sewajarlah kalau banyak orang berpendapat bahwa Pemilu 1997 ini harus dianggap batal dan bathil. Mengakui keabsahan sesuatu yang haram semacam itu adalah dosa besar bagi sesama kita dewasa ini, dan juga merupakan keaiban, yang harus dipertanggungjawabkan di hari kemudian.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dalam pemilu-pemilu yang terjadi di Indonesia tidak selamanya selalu sama, sejak pemilu pertama dilaksanakan, yaitu pada tahun 1955 hingga saat ini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi. Mulai dari perubahan landasan pada tiap pelaksanaan pemilu sampai pada jumlah partai politik yang mengikuti pemilu tersebut, yang telah dipaparkan di atas.
B.     Kritik dan Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang buduman pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik (edisi revisi). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Gatara, Sahid. 2008. Ilmu Politik (Memahami dan Menerapkan). Bandung: Pustaka Setia.
Syafii, Inu Kencana. 1997. Ilmu Politik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar